MADRASAH HATI
Hembusan angin membelai rambut pendekku yang tertutup peci putih kekuning-kuningan. Menerobos masuk kedalam sistem kerja otak. Kencang, namun nikmat terasa. Semua beban di otak terasa ikut terbang bersama hembusan angin. Aku berdiri terdiam menatap bangunan kecil bercat hijau tepat didepan mataku. Membawaku kembali ke masa-masa indah dua tahun yang lalu.Madrasah Al-Hidayah, begitulah aku dan teman-teman seperjuanganku menyebutnya. Awalnya, madrasah ini adalah sebuah bangunan kecil tanpa nama yang berdiri diatas tanah wakaf peninggalan almarhum H. Sulaiman. Bangunan tersebut memang dibangun untuk dijadikan madrasah. Namun entah mengapa, setelah selesai dibangun, seakan-akan bangunan tersebut tak pernah ada. Fungsi bangunan yang telah direncanakan tak berjalan sebagaimana mestinya. Aku heran melihat itu semua. Bagaimana perasaan almarhum H. Sulaiman jika melihat tanah yang beliau wakafkan disia-siakan. Ku rasa beliau sangat kecewa sekali. Ingin rasanya aku memakmurkan madrasah tersebut. Namun, apalah daya seorang anak ingusan yang masih duduk di bangku kelas satu SMA. Modal ilmu agama yang pas-pasan menjadi faktor utamaku melupakan sejenak mimpi itu.Akan tetapi, bulan Ramadhan 1429 H secercah cahaya mulai mengetuk mimpiku. Ayahku yang saat itu menjabat sebagai Ketua RW kampung Cipaku, menyuruhku membuat acara untuk mengisi bulan Ramadhan tahun itu. Hatiku senang bercamupur rasa bingung. Acara apa yang yang harus ku buat. Otakku mulai berputar dan menguras semua ide yang ada. Sampai pada titik lelah otakku, aku pun menyerah dan meminta pertolongan tiga temanku yang bersekolah di Mu’alimin. Alhamdulillah mereka merespon dengan baik maksudku. Kami pun mulai berfikir, mengeluarkan semua isi otak kami. Laksana kilat yang menyambar ke lapisan kulit bumi, tiba-tiba terdengar suara seorang gadis manis yang bernama Fitri. Kak Fitri ku menyebutnya.“ Bagaimana kalau kita buat acara ‘Pesantren Kilat’?”, “Ide yang bagus, kak. Tapi Pesantren Kilatnya untuk anak-anak!”, Shofi menambah. “Boleh juga. Tapi kenapa anak-anak?. Apakan tak kan merepotkan kita?. Asep mulai meramaikan suasana.“Eh, justru kita pupuk pengetahuan tentang ilmu agama sejak dini. Pasti repot sih, tapi mudah-mudahan mereka menjadi aset kampung kita”, tangkas gadis manis ini. Asep, Shofi termasuk aku terdiam dan hanya bisa mengannguk pasrah mendengar jawaban Kak Fitri yang sangat lugas. Kak Fitri memang orang yang paling tua di antara kami. Dia duduk di bangku kelas tiga Mu’alimin. Asep dan Shofi duduk di bangku kelas dua Mu’alimin. Walaupun lebih tinggi satu tingkat dariku, tapi umur mereka sama denganku.“Gimana Iman?”, tanya Kak Fitri. “Emh, boleh Kak. Idenya bagus. Aku setuju!”, jawabku.Kak Fitri tersenyum manis mendengar jawabanku.Akhirnya kami telah sepakat untuk membuat acara “Pesantren Kilat” untuk anak-anak. Kami mulai membuat famplet dan menempelkannya di semua pelosok kampung Cipaku. Tanggal 1 Ramadhan 1429 H kami mulai acaranya dan dilaksanakan sore hari dari pukul 16.00 sampai maghrib di Masjid Al-Hidayah Cipaku. Untuk menarik perhatian anak-anak, kami menyediakan ta’jil gratis seusai acara. Hari pertama pelaksanaan Pasantren Kilat sangat menggembirakan. Peserta Pesantren Kilat mencapai lima puluh orang. Alhamdulillah. Begitupun hari kedua, ketiga dan seterusnya. Tidak berkurang, malah bertambah. Masalah pun seakan ingin ikut andil dalam acara ini. Ta’jil gratis yang merupakan sumbangan dari ibu-ibu PKK kampung Cipaku, tidak mencukupi. Namun, melihat semangat anak-anak, nampaknya masalah tersebut tak berarti. Kami bersepakat menambah ta’jil yang kurang dengan uang kami sendiri.Materi yang kami sampaikan nampaknya terserap mulus kedalam memori anak-anak. Terbukti ketika kami mengadakan cerdas cermat dua hari menjelang Hari Raya Iedul Fitri, mereka dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kami. Melihat itu semua hatiku senang tiada tara. Meskipun aku tidak banyak menyampaikan materi karena keterbatasan ilmuku, hatiku merasa bangga. Tak hanya mengajarkan, aku pun banyak belajar ilmu agama dari majelis ini. Tiga puluh hari penuh acara Pesantren Kilat berlangsung. Sangat berkesan dihati. Terlintas difikiran ingin melanjutkan suasana ini. Suasana kebersamaan dan kenikmatan dalam mencari ilmu. Bayangan bangunan kecil di samping mesjid tiba-tiba terbesit difikiranku. Ku rasa saatnya bangunan tak bertuan itu berfungsi. Fungsi yang semestinya berjalan sejak dulu. Tapi apalah dayaku?. Selalu itu yang menghambat langkahku. Rasa percaya diri yang belum tumbuh, mengikat semua mimpi-mimpiku. Mengikat erat seakan tak ingin lepas dari benakku. Selepas Hari Raya yang dinanti, aku dan teman-temanku berkumpul lagi. Ku beranikan diri untuk mengumpulkan mereka. Ku tak ingin terlalu lama membiarkan semua keinginanku dihancurkan perasaanku sendiri. Tanpa basa basi, aku mulai mengungkapkan semua keinginanku kepada mereka. Keinginan memakmurkan bangunan kecil di samping mesjid. “Kak, acara Pesantren Kilat kemarin kan berjalan dengan lancar, dan anak-anak pun sangat antusias mengikuti acara tersebut, bagaimana kalau kita lanjutkan acara itu?”, aku mulai membuka pembicaraan.“Bulan Ramadhannya juga kan sudah berakhir! Gimana mau diterusin?”, sanggah Asep. “Kan ada madrasah di samping masjid, kosong lagi”, jawabku.“Benar juga ya. Mubadzir kan kalau madrasahnya tak diurus?”, suara indah terlontar dari Kak Fitri. Busana muslim yang dibalut dengan jilbab warna hijau, membuatnya tampak mempesona. “Betul, betul, betul. Aku setuju sama Kak Fitri”, tambah Shofi.Mendengar pendapat mereka semua, hatiku senang. Bagaikan melayang-layang di surga dunia yang aku sendiri pun tak pernah merasakannya. Akhirnya kami sepakat untuk mengisi bangungan kecil yang kemudian kami sebut Madrasah Al-Hidayah. Kami mulai bekerja, dari mulai membuat famplet, mengurus surat izin ke RT, RW dan DKM daerah Cipaku. Liburan Hari Raya Iedul Fitri tahun ini ku habiskan bersama teman-temanku mengurus persiapan madrasah yang kami rencanakan. Kami tidak memungut biaya sepeser pun bagi yang ingin belajar di Madrasah Al-Hidayah.Rasa senang dan bangga kembali singgah dihatiku. Respon masyarakat kampung Cipaku sangat baik melihat usaha kami. Empat puluh delapan murid telah terdaftar dalam buku catatan kami. Sampai-sampai bangunan Madrasah pun tak cukup menampung mereka semua. Dari saat itu lah perjuangan kami di mulai. Masalah demi masalah singgah satu persatu. Namun dengan usaha keras kami, masalah tersebut dapat diatasi. Kami tetap berusaha semaksimal mungkin mempertahankan madrasah ini.Bulan Rajab 1430 H adalah bulan yang bersejarah bagi aku, Kak Fitri, Asep, Shofi dan murid-murid Madrasah Al-Hidayah. Kami berhasil mengadakan acara kenaikan kelas yang bertajuk “KARIMA (Kreasi Akhir Tahun Madrasah Al-Hidayah)” yang cukup meriah. Aku tah bisa lagi mengungkapkan semua rasa yang ada di benakku. “Alhamdulillah”, hanya itu kata yang terucap.Ku masih berdiri termenung menatap bangunan yang ada di depan mataku. Suara keras bai’at murid-muridku, membangunkanku dari semua banyangan indah tempo dulu. Kini ku kembali ke dunia nyata, meneruskan perjuanganku bersama teman-temanku. Perjuangan yang sebenarnya baru saja dimulai. Semangat murid-muridku yang menggebu-gebu menjadi katalis bagi ku dan teman-temanku. Matahari mulai berpindah ke arah timur. Teriknya seakan meredup melihat semangat murid-muridku yang menggebu-gebu. Angin lembut menambah indahnya seore ini. Meyejukkan hati, menguatkan jiwa. Hembusan angin mengiringi murid-muridku masuk ke bangunan kecil yang penuh rahmat dan ridha Ilahi.
0 Komentar untuk "MADRASAH HATI"